Peradaban Islam telah mencapai kemajuan ilmu dalam banyak bidang pada zaman permulaannya yaitu pada abad kesembilan Masihi. Ini terjadi saat Eropa mengalami Zaman Kegelapan. Sarjana Islam telah berhasil menterjemah, menyaring, menyerap dan memadukan ilmu asing ke dalam pandangan mereka yang berdasarkan al-Qur’an. Ilmu pengetahuan yang merupakan jantung peradaban dan kebudayaan Islam telah membimbing umat Islam ke arah puncak kegemilangannya. Namun, pada beberapa kurun berikutnya, daya keilmuan dan kekuatan umat Islam mulai pudar karena beberapa faktor. Malapetaka yang paling besar ialah penyerangan Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan ke Baghdad yang memusnahkan perpustakaan dan pembakaran buku-buku karya asli sarjana Islam. Tetapi terdapat juga faktor internal, khususnya perselisihan dan konflik pemikiran di antara golongan umat Islam. Akibatnya, umat Islam menjadi kurang tajam dan memberi perhatian lebih berat terhadap syarah atau komentar karya-karya fiqh dan shariah. Pengaruh pemindahan ilmu dari Andalusia ke Eropa, merangsang warga Eropa bangkit dan memelopori berbagai bidang ilmu pada era Renaisans. Mereka mengambil alih tongkat kepimpinan intelektual dan fisikal dari umat Islam, khususnya setelah Revolusi Industri. Bagaimanapun konflik antara Gereja dan ahli Sains Barat, mencetuskan perkembangan ilmu sekuler. Aliran sekuler ini masih eksis hingga hari ini. Maka, ketika umat Islam dijajah Barat, pemahaman ilmu inilah yang disebarluaskan kedalam sistem pendidikan yang mereka perkenalkan kepada negara Islam. Latar belakang sekularisasi ilmu inilah yang mengundang perjuangan memurnikan kembali Ilmu Allah atau disebut juga mengislamkan Ilmu.
Golongan intelektual Islam bersepakat bahwa gagasan Islamisasi ilmu bukanlah satu yang baru tetapi pernah terjadi dalam sejarah Islam yang silam. Menurut al-Faruqi, Islamisasi ilmu modern merupakan “satu tugas yang serupa sifatnya dengan tugas yang pernah dimainkan oleh nenek moyang kita yang mencerna ilmu zaman mereka dan mewariskan kepada kita peradaban dan kebudayaan Islam, walaupun ruang lingkupnya kini lebih luas.” Memang sebenarnya gagasan ini mempunyai akar dalam tradisi intelektual Islam dan dari segi konsepnya, ia lahir dari aqidah Islam itu sendiri. Walaupun gagasan ini telah dipraktekkan dalam sejarah intelektual Islam, sebenarnya ia tidak diungkapkan secara sistematik hingga zaman mutakhir ini. Namun demikian konsep dan kerangka pengislaman ilmu ini memang berlandaskan al-Qur’an yang menegaskan bahwa ilmu itu tidak terpisah dari Yang Esa. Wan Muhammad Nor berargumen, Walaupun pembahasan konsep Islamisasi ilmu kontemporer secara sistematik adalah hasil dari pertengahan abad kedua puluh, namun ayat-ayat terawal yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, dalam al-Alaq (96): 1-5, menggariskan dengan jelasnya semangat Islamisasi ilmu kontemporer ketika Allah menekankan bahwa Ia adalah sumber dan asal ilmu manusia.
Pada abad ketiga Hijrah, sejarah menunjukkan pesatnya proses Islamisasi ilmu-ilmu Yunani. Tokoh ilmuwan Islam memahami masalah dikhotomi ilmu yang ada saat itu dan berusaha bukan saja untuk mengislamkan ilmu asing tetapi juga melahirkan ilmu baru melalui penyelidikan. Karya al-Ghazali, TahÉfut al-FilÉsafah merupakan satu contoh penting tentang usaha Islamisasi ilmu asing pada zaman tersebut. Dalam buku ini al-Ghazali menonjolkan 20 ide yang asing dalam pandangan Islam, yang diambil oleh pemikir Islam dari falsafah Yunani dan empat diantaranya bertentangan dengan aqidah Islam. Salah satunya ialah bahwa alam ini kekal abadi selama-lamanya, tidak ada permulaan dan penghabisan. Walaupun ia tidak menggunakan istilah Islamisasi, namun aktivitas yang ia lakukan semisal dengan makna Islamisasi.
Iqbal, seorang sarjana terkemuka abad silam, pada tahun 30an, mulai menyadari sifat ateistik ilmu Barat modern dan menegaskan keperluan untuk melakukan proses Islamisasi terhadap ilmu tersebut. Bagaimanapun ia tidak menjelaskan ide ini dengan lebih lanjut. S.H. Nasr, seorang sarjana falsafah dan sejarah sains Islam pernah juga mengutarakan keperluan usaha Islamisasi ilmu modern in pada tahun 60an. Ia meletakkan asas untuk konsep sains Islam dalam aspek teori dan praktek melalui karyanya Science dan Civilization in Islam (1968) dan Islamic Science (1976). Walaupun ide Islamisasi ilmu ini telah disentuh oleh beberapa sarjana Islam, namun penjelasan yang sistematik secara konseptual bermula dari Al-Attas. Ia dianggap sebagai seorang sarjana Islam abad silam yang pertama kali mengupas dan menegaskan tentang perlunya Islamisasi pendidikan, Islamisasi sains dan Islamisasi ilmu. Al-Attas telah melahirkan ide-idenya pada satu konferensi pendidikan yang sangat penting dalam sejarah umat Islam kontemporer, yaitu, Konferensi Pertama Pendidikan Islam Sedunia di Makkah pada 1977. Persidangan ini berhasil mengumpulkan 313 sarjana dan pemikir Islam dari seluruh pelosok dunia. Persidangan ini dianggap sebagai pembangkit proses Islamisasi ilmu dan pendidikan. Dalam Persidangan yang bersejarah ini Al-Attas menjelaskan konsep pendidikan dalam Islam, sementara Ismail al-Faruqi dan S.H.Nasr masing-masing mengupas ide sains sosial dan sains alam dalam tasawwur Islam. Syed Ali Ashraf juga berjasa karena usahanya dalam bidang Islamisasi pendidikan dari fase konseptual ke fase pelaksanaan dalam melalui Konferensi Sedunia Pendidikan Islam dari sejak tahun 1977 hingga 1996, mulai dari falsafah pendidikan Islam hingga pola kurikulum, buku teks, metodologi pengajaran, guru berjiwa Islami dan Islamisasi buku teks ditingkat sekolah. Ismail al-Faruqi merupakan seorang lagi sarjana Islam yang turut berkecimpung menjelaskan dan mengembangkan gagasan Islamisasi Ilmu melalui karyanya Islamization of Knowledge (1981) yang menggariskan beberapa langkah yang harus diambil ke arah merealisasikan usaha ini. Kini gagasan Islamisasi ilmu menjadi misi dan raison d’etre beberapa institusi Islam seperti International Institute of Islamic Thought (IIIT), Washington DC., International Islamic University Malaysia (IIUM) di Kuala Lumpur, Akademi Islam di Cambridge dan International Institute of Islamic Thought dan Civilization (ISTAC) di Kuala Lumpur. Malahan jurnal yang diterbitkan oleh institusi tersebut, yaitu American Journal of Islamic Social Sciences (IIIT), The Muslim Education Quarterly (Akademi Islam)dan al-Shajarah (ISTAC) berperan sebagai lidah penyambung gagasan ini. Dalam membicarakan isu Islamisasi ilmu, kita tidak dapat lari dari pembahasan gagasan al-Attas dan al-Faruqi yang merupakan pemikir besar dalam pembuatan konsep dan usaha merealisasikannya.
Penjelasan tentang pendefinisian Islamisasi ilmu pengetahuan
Gerakan “Islamisasi ilmu pengetahuan” ini telah membangunkan umat Islam dari tidurnya. Jika istilah “Islamisasi” tidak digunakan mungkin usaha ini tidak akan mendapat sambutan. Umat Islam ingin membebaskan diri mereka dari belenggu penjajahan budaya Barat yang dibangun berdasarkan pandangan alam sekuler. Pandangan hidup ini mengancam umat Islam dan sebagai jawabannya adalah suatu revolusi epistemologi yang kemudian disebut dengan Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer. Konsep ini bukanlah sekedar slogan, simbol atau retorik kosong semata-mata. Ia membawa makna yang cukup dalam bagi mereka yang merenungkan dan mengkonseptualkannya. Terdapat beberapa ungkapan yang sering digunakan untuk melnggambarkan konsep ini seperti “Islamisasi ilmu” dan “Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer. Ungkapan yang pertama ini agak mengelirukan, sebab ia membawa konotasi semua ilmu termasuk ilmu-ilmu sains Islam berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah yang dibangun oleh sarjana Islam zaman tersebut tidak Islami dan oleh sebab itu, harus diislamkan. Ungkapan yang kedua merujuk kepada ilmu Barat modern. Menurut sementara ulama, turath Islami tidak termasuk dalam proses Islamisasi sebab ia tidak pernah terpisah dari Tuhan sebagai Hakikat yang sebenarnya dan sumber segala ilmu. Ilmu ini juga telah melalui proses Islamisasi yang dilakukan oleh ulama Islam awal. Ilmu Islam tradisional ini telah memadukan akal, intuisi dan wahyu. Ia juga telah memadukan i’tikad, ilmu dan nilai atau amal yang baik bagi memenuhi kebutuhan rohani dan materi. Justru itu, ilmu Islam tradisional telah terpadu pada tahap ontologi, epistemologi dan aksiologi.
Penelitian karya sarjana-sarjana Islam yang ulung mendapati mereka menggunakan ungkapan yang lebih khusus. Al-Attas, umpamanya menggunakan ungkapan Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer atau Islamisasi ilmu pengetahuan hari ini daripada ungkapan Islamisasi ilmu pengetahuan. al-Faruqi bahkan menggunakan ungkapan ‘Islamisasi ilmu pengetahuan modern walaupun ia kemudian menggunakan ungkapan ‘Islamisasi disiplin’. Jadi ketika kedua sarjana ini menggunakan ungkapan ‘Islamisasi ilmu pengetahuan’, yang mereka maksud adalah ilmu pengetahuan kontemporer. Dengan kata lain ia merujuk kepada ilmu yang berdasarkan pandangan Barat sekuler; ilmu yang ditemui dan disebarluaskan oleh peradaban Barat.
Ide Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer terbit dari premis bahwa ilmu pengetahuan kontemporer bukannya bebas nilai dan tidak juga bersifat universal. Ilmu itu telah melalui proses sekularisasi dan westernisasi yang bukan saja tidak harmonis dengan kepercayaan umat Islam malah membahayakan mereka. Al-Attas menegaskan bahwa “ilmu bukannya netral, bahkan dapat disusupi dengan sifat dan kandungan yang menyerupai ilmu.” Al-Faruqi juga menjelaskan,
Barat mengklaim bahwa sains kemanusiaannya bersifat saintifik disebabkan sifat netralnya; yakni sengaja menghindari dari pertimbangan dan kecenderungan manusia; dengan menganggap fakta sebagai fakta dan membiarkannya berbicara untuk dirinya sendiri. Seperti yang kita sudah lihat, ini adalah satu klaim kosong, sebab tidak terdapat satu persepsi teoretis bagi segala fakta tanpa persepsi ciri dan hubungan aksiologinya.
Ia menegaskan lagi bahwa ilmu modern bukan bersifat universal tetapi umumnya bersifat etnosentrik dan Eurosentrik khususnya. Maka, ilmu pengetahuan modern tidak boleh digunakan apa adanya di semua tempat dan keadaan, khususnya dalam masyarakat Islam yang mempunyai nilai dan kepercayaan yang berbeda dengan peradaban Barat. Sumber dan metode penyelidikan ilmu di Barat bergantung sepenuhnya kepada teori empiris, rasional dan inderawi, dan condong kepada materialistik. Ia juga mengabaikan dan memandang rendah cara memperoleh ilmu melalui wahyu dan kitab suci. Ilmu Barat tidak berlandaskan nilai-nilai transenden dan juga tidak berkaitan dengan kepercayaan agama. Ilmu-ilmu Barat sepenuhnya sudah menjadi sekuler. Proses sekularisasi ini terjadi karena “kebencian terhadap Gereja dan magisterium palsu yang dipaksakan pada dirinya terhadap semua ilmu termasuk alam semesta.” Ketidakserasian dan ketidaksempurnaan metode ilmu Barat membuat umat Islam mencari alternatif yang serasi dengan pandangan mereka.
- online casino india
- best online casino in india
- best online casino india
- online casino india real money
- online casino in india
- online casino games in india
- online casino games india
- online casino real money india
- best casino in india online
- online casino games for real money
- casino in india online
- casino games india
- best casino in india
- online casino game real money
- casino india online
- crazy time casino india
- casino online india
- online casino play for real money
- casino games in india
- best online live casino india